Perlindungan
Konsumen
Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau
jasa konsumen di dalam pergaulan hidup
(Shidarta,2000:9).
Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Azas Perlindungan Konsumen
Asas perlindungan konsumen diatur
dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, asas tersebut antara lain:
1. Asas Manfaat
Semua usaha yang dijalankan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus bermanfaat besar, untuk konsumen
dan pelaku usaha secara menyeluruh. Dengan bahasa lain, tidak hanya salah satu
pihak saja yang memperoleh manfaat sedangkan pihak lain memperoleh kerugian.
2. Asas Keadilan
Tidak selamanya sengketa konsumen
dikarenakan dari kesalahan pelaku usaha, tetapi juga disebabkan oleh kesalahan
konsumen yang kadang tidak mengetahui akan kewajibannya. Konsumen dan
produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui peroleh hak dan kewajiban
secara seimbang.
3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Ini
menghendaki konsumen, produsen dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang
dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini mempunyai tujuan untuk
memberikan jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk
yang dikonsumsinya dan sebaliknya, bahwa produk tersebut tidak akan mengancam
ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta benda.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas ini memiliki tujuan untuk
memberikan kepastian hukum supaya produsen dan juga konsumen menaati hukum dan
menjalankan yang menjadi hak dan kewajibannya tanpa harus membebankan tanggung
jawab di salah satu pihak dan juga negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Memberikan kepastian dan
keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu
perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
Tujuan perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 3 UUPK 8/1999, antara
lain yaitu:
1. Melakukan peningkatan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindari dari efek negatif penggunaan barang dan atau
jasa
3. Melakukan peningkatan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut haknya sebagai
konsumen
4. Membuat sistem perlindungan
konsumen yang berisi unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi dan juga
akses untuk memperoleh informasi.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai
berikut:
1.Hak atas kenyamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2.Hak untuk memilih barang dan
jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.Hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4.Hak untuk di dengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
5.Hak untuk mendapatkan advokasi
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.Hak untuk mendapat pembinaan
dan pendidikan konsumen.
7.Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.Hak untuk mendapatkan
kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu
sebagai berikut:
1.Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa
demi keamanan dan keselamatan.
2.Bertikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan jasa.
3.Membayar sesuai dengan nilai
tukar yang disepakati.
4.Mengikuti upaya penyelesaian
hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5
UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha merupakan salah satu
komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen.
Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai
berikut:
1.Hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
2.Hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3.Hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999,
yaitu sebagai berikut:
1.Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya.
2.Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
3.Menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku.
4.Memberikan kompensasi, ganti
rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak
sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ada 3 kelompok larangan bagi para
pelaku usaha diantaranya :
1. Larangan bagi pelaku usaha
dalam kegiatan produksi (pasal 8)
2. Larangan bagi pelaku usaha
dalam kegiatan pemasaran ( pasal 9 – 16 )
3. Larangan bagi pelaku usaha
dalam kegiatan periklanan ( pasal 17 )
Larangan bagi para pelaku usaha
dalam kegiatan produksi
Pelaku usaha dilarang memproduksi
atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
1.Tidak memenuhi standar yang
dipersyaratkan undang – undang
2.Tidak sesuai dengan isi bersih
atau neto yang terdapat dalam label
3.Tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
4.Tidak sesuai dengan kondisi,
jaminan, dan keterangan barang/jasa tersebut
5.Tidak sesuai mutu, tingkatan
komposisi, proses yang dinyatakan dalam label atau keterangan barang/jasa
tersebut
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah:
1.Barang tersebut telah memenuhi
dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya
atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
2.Barang tersebut dalam keadaan
baik dan/atau baru
3.Barang dan/atau jasa tersebut
telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
4.Barang dan/atau jasa tersebut
dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
5.Barang dan/atau jasa tersebut
tersedia
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan periklanan
Dilarang memproduksi iklan yang :
1. Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan barang / jasa
2. Mengelabui jaminan/garansi
terhadap barang/jasa
3. Membuat informasi yang salah
mengenai barang/jasa
4. Tidak memuat informasi
mengenai risiko pemakaian barang/jasa
5. Melanggar etika/ketentuan
undang – undang periklanan
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8
tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur
tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal
21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan
bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari
tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. Barang tersebut terbukti
seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
2. Cacat barabg timbul pada
kemudian hari
3. Cacat timul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang
4. Kelalaian yang diakibatkan
oleh konsumen
5. Lewatnya jangka waktu
penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan.
Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh undang
– undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal
63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan
berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi,
perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin
usaha.
Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
menurut UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
(pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan
“praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau
lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha
secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang Dilarang dalam Antimonopoli
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2. Posisi
dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai,
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik,
telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta
sepenuhnya.
Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli
dan Persaingan Usaha
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian
dalam bentuk sebgai berikut :
- Oligopoli
- Penetapan
harga
- Pembagian
wilayah
- Pemboikotan
- Kartel
- Trust
- Oligopsonih
- Integrasi
vertikal
- Perjanjian
tertutup
- Perjanjian dengan pihak luar negeri
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai
berikut :
1. Perjanjian-perjanjian
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi
harga pasar.
Penetapan
Harga.
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian,antara lain :
- perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau
jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
- Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
- Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar.
- Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah
diperjanjikan
Pembagian
Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang
sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya
yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Oligopsoni
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan
tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
Integrasi
Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Perjanjian
Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Perjanjian
dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang
memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal
atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu
kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh
seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Penguasaan
Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar.
Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan
(kecurangan).
3. Posisi dominan, yang
meliputi :
- Pencegahan
konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
- Pembatasan
pasar dan pengembangan teknologi
- Menghambat
pesaing untuk bisa masuk pasar
- Jabatan
rangkap
- Pemilikan
saham
- Merger,
akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain
untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot,
perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel,
trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang , yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau
pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Posisi dominan , pelaku
usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi
pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian , KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu
sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang
selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang
ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
- Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
- Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
- Efisiensi
alokasi sumber daya alam
- Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang
lazim ditemui pada pasar monopoli
- Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan
layanannya
- Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
- Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
- Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Sanksi
Sanksi
Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian,
pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan
dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan
denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh
lima miliar rupiah.
Sanksi
Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha
melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan
monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan
saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua
piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah,
sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan
pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar
rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat
dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
Pencabutan
izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara untuk
mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung
antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak
tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan bahwa negosiasi tampak
lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan daripada ilmu pengetahuan
yang dapat dipelajari.
Dalam praktik, negosiasi
dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk mencari sesuatu yang baru
yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli,
pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga (di sini
tidak terjadi sengketa); dan (2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa
yang timbul di antara para pihak.
2. Mediasi
Pengertian mediasi antara lain
adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral,
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak
yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah
pihak.
Jika Anda perhatikan pengertian
mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit didefinisikan karena pengertian
tersebut sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda-beda,
sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Misalnya, di beberapa negara
karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi penyelesaian
sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya sebagai lembaga
mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja dirancukan dengan istilah lainnya,
misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase. Untuk
lebih jelasnya, Anda dapat memperdalam topik mediasi ini
3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat
berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak
berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua
aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang
lingkup baik nasional maupun internasional.
Di Indonesia sendiri, minat untuk
menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini meningkat semenjak
diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun beberapa hal yang menjadi
keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi
adalah :
1) Sidang tertutup untuk umum
2) Prosesnya cepat (maksimal enam
bulan)
3) Putusannya final dan tidak dapat dibanding
atau kasasi
4) Arbiternya dipilih oleh para
pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral
yang tinggi
5) Walaupun biaya formalnya lebih
mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada 'biaya-biaya lain'
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.
Dalam ruang lingkup
internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali
menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh kasusnya adalah
:
1) Sengketa antara Cemex Asia
Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for
Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007
2) Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008
2) Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008
3) Sengketa terkait Bank Century
dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali
Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore
4) Sengketa antara Newmont
melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.
Perbandingan antara Perundingan,
Arbitrasi, Legitasi
Sumber diakses pada 21 juni 2019 pukul 22.46 :
YouTube - videoodl.cc
BalasHapusPlay youtube mp4 Free VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL REALITY REALITY - YouTube - VideoODl.cc