Selasa, 25 Juni 2019

Perlindungan Konsumen, Antimonopoli dan Persaingan Tidak Sehat serta Penyelesaian Sengketa


Perlindungan Konsumen
Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup
(Shidarta,2000:9).

Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.


Azas Perlindungan Konsumen
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, asas tersebut antara lain:
1. Asas Manfaat
Semua usaha yang dijalankan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus bermanfaat besar, untuk konsumen dan pelaku usaha secara menyeluruh. Dengan bahasa lain, tidak hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat sedangkan pihak lain memperoleh kerugian.

2. Asas Keadilan
Tidak selamanya sengketa konsumen dikarenakan dari kesalahan pelaku usaha, tetapi juga disebabkan oleh kesalahan konsumen yang kadang tidak mengetahui akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui peroleh hak dan kewajiban secara seimbang.

3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Ini menghendaki konsumen, produsen dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini mempunyai tujuan untuk memberikan jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsinya dan sebaliknya, bahwa produk tersebut tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta benda.

5. Asas Kepastian Hukum
Asas ini memiliki tujuan untuk memberikan kepastian hukum supaya produsen dan juga konsumen menaati hukum dan menjalankan yang menjadi hak dan kewajibannya tanpa harus membebankan tanggung jawab di salah satu pihak dan juga negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 3 UUPK 8/1999, antara lain yaitu:
1. Melakukan peningkatan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindari dari efek negatif penggunaan barang dan atau jasa
3. Melakukan peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut haknya sebagai konsumen
4. Membuat sistem perlindungan konsumen yang berisi unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi dan juga akses untuk memperoleh informasi.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2.Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4.Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
5.Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.
3.Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen.

Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2.Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3.Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
3.Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
4.Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ada 3 kelompok larangan bagi para pelaku usaha diantaranya :
1. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (pasal 8)
2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran ( pasal 9 – 16 )
3. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan periklanan ( pasal 17 )

Larangan bagi para pelaku usaha dalam kegiatan produksi
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
1.Tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan undang – undang
2.Tidak sesuai dengan isi bersih atau neto yang terdapat dalam label
3.Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
4.Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, dan keterangan barang/jasa tersebut
5.Tidak sesuai mutu, tingkatan komposisi, proses yang dinyatakan dalam label atau keterangan barang/jasa tersebut

Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
1.Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
2.Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
3.Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
4.Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
5.Barang dan/atau jasa tersebut tersedia

Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan periklanan
Dilarang memproduksi iklan yang :
1. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan barang / jasa
2. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang/jasa
3. Membuat informasi yang salah mengenai barang/jasa
4. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang/jasa
5. Melanggar etika/ketentuan undang – undang periklanan

Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
2. Cacat barabg timbul pada kemudian hari
3. Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.

Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Kegiatan yang Dilarang dalam Antimonopoli
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.

 Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
  1. Oligopoli
  2. Penetapan harga
  3. Pembagian wilayah
  4. Pemboikotan
  5. Kartel
  6. Trust
  7. Oligopsonih
  8. Integrasi vertikal
  9. Perjanjian tertutup
  10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Penetapan Harga.

Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,antara lain :
  • perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
  • Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
  • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
  • Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan
Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

Oligopsoni
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.

Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.

Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).

3. Posisi dominan, yang meliputi :
  • Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
  • Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
  • Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
  • Jabatan rangkap
  • Pemilikan saham
  • Merger, akuisisi, konsolidasi

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.

Kegiatan yang dilarang , yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Posisi dominan , pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian , KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan

Sanksi
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.

Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.

Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
Pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.


Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan daripada ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari.
Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa); dan (2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.

2. Mediasi
Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Jika Anda perhatikan pengertian mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit didefinisikan karena pengertian tersebut sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Misalnya, di beberapa negara karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya sebagai lembaga mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja dirancukan dengan istilah lainnya, misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase. Untuk lebih jelasnya, Anda dapat memperdalam topik mediasi ini

3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang lingkup baik nasional maupun internasional.

Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi adalah :
1) Sidang tertutup untuk umum 
2) Prosesnya cepat (maksimal enam bulan) 
3) Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi 
4) Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi 
5) Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada 'biaya-biaya lain'
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.

Dalam ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh kasusnya adalah :
1) Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007
 2) Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008 
3) Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore 
4) Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.

Perbandingan antara Perundingan, Arbitrasi, Legitasi






Sumber diakses pada 21 juni 2019 pukul 22.46 :


1 komentar:

  1. YouTube - videoodl.cc
    Play youtube mp4 Free VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL VIRTUAL REALITY REALITY - YouTube - VideoODl.cc

    BalasHapus

Perlindungan Konsumen, Antimonopoli dan Persaingan Tidak Sehat serta Penyelesaian Sengketa

Perlindungan Konsumen Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah ...